Kamis, 13 Januari 2011

My Name Is Sony Laksono

Pria berkepala plontos ini kembali membuat geger Indonesia. Setelah namanya meroket gara-gara ketahuan melakukan skandal korupsi pajak, akhir-akhir ini kembali membuat heboh masyarakat dengan terungkapnya bahwa  semasa di tahanan dirinya justru bebas berkeliaran ke luar negeri. Dialah Gayus Tambunan, salah satu news maker minggu ini.

Diberitakan, Selama ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua, Gayus disebut-sebut 68 kali keluar masuk sel seusai sidang dengan cara menyetor sejumlah uang. Praktik kotor ini berakhir setelah kepergiannya ke Bali terkuak. Gayus pun dipindahkan ke LP Cipinang. Bahkan dengan status sebagai tahanan dan sedang menjalani sidang, Gayus ditengarai pula sempat jalan-jalan ke Singapura, Kuala Lumpur dan Macau.

Indikasinya, perjalanannya tidak hanya menyuap para sipir tahanan tetapi juga sampai ke petugas imigrasi yang membuat paspor Gayus. Dia keluar sel dengan menggunakan nama samaran 'Sony Laksono'. Bisa juga dia keluar untuk mengamankan asetnya. Kabar yang beredar, setelah dari luar negeri, 'Sony Laksono' plesiran ke Bali, menonton kejuaraan tenis internasional dan tertangkap kamera wartawan.

Penyelesaian kasus Gayus ini pun berlarut-larut dan seperti ada backing besar dibelakangnya yang berupaya agar kasus ini tidak menyeret pihak-pihak lain yang terlibat atau dalang-dalangnya. Peneliti hukum dari ICW Donald Faris, mengatakan ada banyak kejanggalan dalam pengungkapan mafia pajak ini.

Salah satu kejanggalannya, Gayus hanya dijerat pada kasus PT SAT dengan kerugian negara Rp 570.952.000, dan bukan pada kasus utamanya, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar, sesuai dengan yang didakwakan pada Dakwaan Perkara Pidana Nomor 1195/Pid/B/2010/PN.JKT.Sel. (kompas.com 21/11/10). Bahkan ditakutkan pula mencuatnya isu piknik Gayus ke luar negeri ini hanyalah untuk mengalihkan persoalan utamanya.

Terkuaknya ‘drama’ Gayus Tambunan menunjukkan kepada kita bahwa hukum yang berlaku di Indonesia benar-benar sangatlah bobrok. Fenomena Gayus ini hanyalah salah satu dari sekian praktik-praktik korupsi di negri ini. Baik korupsi tingkat ‘ecek-ecek’ sampai korupsi kelas kakap, dari korupsi yang bersifat individualis sampai yang bersifat sistematis. Baik yang terungkap ke permukaan maupun tidak.

Tak bisa di tutupi, hukum hanya mampu menjerat rakyat kecil, namun sangat sulit untuk menembus para pembesar. Bagaimana kita tahu mentahnya penanganan hukum kasus skandal Bank Century, skandal BLBI, kasus korupsi mantan presiden Soeharto, dugaan penyelewengan laba bersih BBM sebesar 45 triliun untuk kepentingan kampanye parpol, dan masih banyak lagi.

Tidak ingatkah peringatan dari Rasulullah Saw: "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian hancur karena orang-orang terhormat di kalangan mereka dibiarkan saja ketika mencuri. Tapi, jika yang mencuri orang lemah di antara mereka, berlakulah hukuman atas mereka.” (HR. Bukhari)

Faktor Lemahnya Hukum

Setidaknya ada dua faktor yang mengakibatkan hukum itu lemah. Diantaranya:

Pertama adalah Sistemnya. Setelah dicermati secara seksama, seperangkat sistem yang berlaku di Indonesia memang sangat kondusif bagi koruptor untuk melancarkan aksinya. Seperti halnya pemberlakuan sanksi yang tidak bisa menimbulkan efek jera dan efek pencegah. Sebagaimana diketahui, banyak pelaku koruptor kelas kakap setelah di vonis bersalah hanya dikenai sanksi sangat ringan. Hal itu tentunya tidak membuat jera para pelaku koruptor tersebut, tidak pula mampu mencegah koruptor lain, karena dia tahu kalau pun toh tertangkap hanya akan di vonis sanksi ringan.

Kedua adalah Manusianya. Sejatinya faktor manusianya ini juga tidak terlepas dari sistem yang berlaku. Orang yang baik bisa menjadi orang yang tidak baik, dengan kata lain orang yang sebelumnya bukanlah koruptor bisa menjadi koruptor, gara-gara sistem yang diterapkan. Sebagai contoh, pernah diungkap oleh salah satu media jika di gedung DPR itu setiap hari beredar uang-uang ‘liar” yang tentu membuat tergiur untuk mengambil uang yang bukan haknya tersebut. Maka tak heran bilamana tidak sedikit anggota partai Islam yang juga terlibat dalam kasus korupsi. Itu baru yang terungkap ke permukaan.

Begitupula terjadi bagi para aparat penegak hukum, sangat sedikit ditemukan petugas yang amanah. Terkuaknya kasus “soni laksono” menunjukkan betapa hancurnya mental aparat penegak hukum yang luluh hanya karena gemerincing ‘dollar’. Belum lagi di kasus-kasus lain seperti penyuapan hakim, jaksa, polisi, dan penegak hukum lainnya.

Sistem yang sekarang di terapkan juga tidak memiliki spirit ruhiah. Sistem ini banyak melahirkan manusia-manusia yang bersifat “wahn”, cinta pada dunia dan takut mati. Begitu memburu dunia dan melupakan akhiratnya sehingga mudah sekali disuap atau di sogok.

Tidak pula ada keteladanan pemimpin. Di tengah penderitaan rakyat justru pemimpin di negri ini seolah-olah hanya menghambur-hamburkan uang rakyat. Berikut adalah rincian anggaran ‘super wah’ presiden versi seknas FITRA diolah dari DIPA Setneg 2010 (detik.com):

1. Membeli Baju Presiden Rp 839 juta
2. Membeli Furniture Rp 42 miliar
3. Renovasi Gedung Setneg Rp 60 miliar
4. Road Blocker Rp 49 miliar
5. Pengamanan fisik dan non fisik VVIP Presiden Rp 52 miliar

Plus fasilitas 34 mobil mewah  bagi anggota Kabinet Indonesia Bersatu II mendapat fasilitas baru, yang padahal fasilitas mobil sebelumnya masih sangat layak pakai.  Menurut situs ekspor mobil Bafta.com, harga Crown Royal sekitar US$ 48-62 ribu (Rp 452-584 juta) per unit.  Dan juga fasilitas-fasilitas mewah lainnya.

Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang telah dilakukan oleh Umar Bin abdul aziz yang waktu itu menjabat sebagai pemimpin Negara khilafah. Beliau pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Belaiu juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara.

Kembali pada Islam

Melihat pemaparan diatas, maka sudah semestinya kita ganti sistem sekulerisme yang berlaku di negri ini dengan sistem Islam. Jelaslah bahwa sistem Islam merupakan solusi jitu memberantas korupsi. Selain memiliki seperangkat aturan yang tegas dan mampu menimbulkan efek jera, sistem ini juga memiliki spirit ruhiah di dalamnya, yakni menjalankan syariah Islam dalam rangka beribadah kepada-Nya.

Tawaran dari Allah Swt akan diampuni dosanya jika telah dihukum dengan hukum Islam tentu akan membuat para koruptor terdorong untuk menyerahkan diri, ketimbang mendapat siksa yang lebih di akhirat.

Diangkat pula para penegak hukum yang amanah, juga pengawasan yang baik oleh individu, masyarakat maupun Negara dalam nuansa amar ma’ruf nahi munkar.  Ditambah pula dengan keteladanan pemimpin, perhitungan kekayaan pejabat secara transparan, sistem penggajian yang layak, dan lainnya, niscaya korupsi dinegri ini dapat diberantas.

Jika tetap bersikukuh tidak menggunakan sistem Islam dan justru tetap menggunakan sistem sekulerisme demokrasi, tentu hanya akan membuat senang orang-orang macam Gayus di negri ini. Lucu juga jikalau ada orang yang sedang di tahan kok bisa melancong ke luar negeri. Mungkin saat Gayus berkenalan dengan seseorang di luar negeri, dia tidak mengatakan “My name is Gayus”, melainkan “My name is Sony Laksono”. Begitulah.



By: Ali Mustofa
oleh Komunitas Rindu Syariah & Khilafah

1 komentar:

Anonim mengatakan...

terima kasih sangat membantu dan memberikan banyak pencerahan khususnya pada bidang teknik sipil

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger